LAPORAN PKL : PERLAKUAN FITOREMEDIASI SEBAGAI UPAYA PEMULIHAN KUALITAS LINGKUNGAN TERCEMAR MERKURI MENGGUNAKAN KAYU APU (Pistia stratiotes)
PERLAKUAN
FITOREMEDIASI SEBAGAI UPAYA PEMULIHAN KUALITAS LINGKUNGAN TERCEMAR MERKURI
MENGGUNAKAN KAYU APU (Pistia stratiotes)
LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN
RIMA RAMADHANIA
B1J012106
KEMENTERIAN
RISET DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
BIOLOGI
PURWOKERTO
2015
PERLAKUAN
FITOREMEDIASI SEBAGAI UPAYA PEMULIHAN KUALITAS LINGKUNGAN TERCEMAR MERKURI
MENGGUNAKAN KAYU APU (Pistia stratiotes)
RIMA RAMADHANIA
B1J012106
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar
sarjana sains
pada Fakultas Biologi Universitas Jenderal
Soedirman
Purwokerto
Disetujui dan disahkan
Pada tanggal Juni 2015
Pembimbing,
Dr. Dwi
Nugroho Wibowo, M.S.
NIP. 19611125 198601 1 001
|
Pembimbing Lapangan,
Hanies Ambarsari, BSc.,
M.ApplSc., PhD.
|
Mengetahui,
Pembantu Dekan I Fakultas Biologi
Unsoed
Universitas Jenderal
Soedirman
Drs. Agus Hery Susanto, M.S.
NIP. 19590814 198603 1 004
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan
atas kehadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga penyusunan laporan Praktik Kerja Lapangan dengan judul “PERLAKUAN FITOREMEDIASI SEBAGAI
UPAYA PEMULIHAN KUALITAS LINGKUNGAN TERCEMAR MERKURI MENGGUNAKAN KAYU APU (Pistia stratiotes)” ini telah terselesaikan.
Penulis mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan hingga
penyelesaian laporan praktik
kerja lapangan ini, khususnya
kepada:
(1) Drs. Agus Hery Susanto, M.S. selaku
Pembantu Dekan I Fakultas Biologi
Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan izin untuk pelaksanaan PKL.
(2) Dr. Dwi Nugroho Wibowo, M.S. selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dalam menyusun rencana PKL.
(3) Hanies Ambarsari, BSc., M.ApplSc., PhD
selaku dosen pembimbing lapangan yang telah membimbing dalam kegiatan
penelitian di laboratorium BTL (Balai Teknologi Lingkungan) BPPT Puspiptek,
Serpong.
(4) Drs. Hendro Pramono, M.Si selaku dosen
pembimbing akademik yang telah mengarahkan untuk melaksanakan PKL.
(5) Semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan rencana PKL ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan Praktik Kerja Lapangan ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
untuk perbaikan di masa mendatang dan bermanfaat bagi semuanya.
Purwokerto, Juni
2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Judul........................................................................................................................ i
Lembar Pengesahan................................................................................................ ii
Prakata.................................................................................................................... iii
Daftar Isi................................................................................................................. iv
Daftar Tabel............................................................................................................ v
Daftar Gambar........................................................................................................ vi
Daftar Lampiran..................................................................................................... vii
I. Pendahuluan........................................................................................................ 1
II. Materi dan Cara Kerja
A. Materi.......................................................................................................... 4
B. Cara
Kerja................................................................................................... 4
C. Lokasi
dan Waktu Praktik Kerja Lapangan................................................ 5
III. Evaluasi Hasil Kerja
A. Profil Balai Teknologi Lingkungan............................................................ 6
1. Sejarah
Singkat....................................................................................... 6
2. Tugas...................................................................................................... 6
3. Struktur
Organisasi................................................................................. 7
4. Laboratorium.......................................................................................... 8
B. Deskripsi
Kegiatan...................................................................................... 9
1.
Pengambilan dan Seleksi Sampel Tanaman
Kayu Apu.......................... 10
2.
Aklimatisasi dan Penimbangan Bobot Awal Tanaman
Kayu Apu ....... 10
3.
Perlakuan Fitoremediasi pada Media yang Mengandung
Merkuri........ 10
C.
Hasil Pengamatan dan Analisis Data.......................................................... 11
IV. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan................................................................................................. 18
B.
Saran........................................................................................................... 18
Daftar Referensi..................................................................................................... 19
Lampiran................................................................................................................. 20
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1. Perubahan Morfologi
Kayu Apu Selama Perlakuan............................... 12
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1. Struktur Organisasi BTL.................................................................... 7
Gambar 3.2. Bagan Alir Penelitian......................................................................... 9
Gambar 3.3. Rata-rata Penurunan
Biomassa Kayu Apu Selama Perlakuan Fitoremediasi 11
Gambar 3.4. Struktur Fitokelatin ........................................................................... 15
Gambar 3.5. Senyawa Kompleks
Ikatan Fitokelatin Hg2+...................................... 16
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Perhitungan Berat Hg dalam HgCl2................................................... 21
Lampiran 2. Komposisi Media................................................................................ 23
Lampiran 3. Pengamatan Tanaman Selama Perlakuan............................................ 24
Lampiran 4. Pengukuran Bobot Awal dan Akhir
Tanaman kayu Apu................... 36
Lampiran 5. Daftar Kegiatan Harian Mahasiswa Praktik Kerja Lapangan............. 37
Lampiran 6. Keterangan
Menyelesaikan Praktik Kerja Lapangan.......................... 40
I.
PENDAHULUAN
Peningkatan kebutuhan
manusia terhadap pemanfaatan sumberdaya alam berdampak terhadap penggunaan
bahan yang sulit terdegradasi oleh alam. Aktivitas manusia seperti kegiatan
industri dan transportasi memiliki potensi yang cukup besar untuk mencemari dan
merusak lingkungan. Beberapa zat kimia berbahaya dan beracun yang mencemari
lingkungan diantaranya adalah merkuri yang berasal dari sisa kegiatan
pertambangan emas. Salah satu upaya mengurangi konsentrasi bahan pencemar yang
masuk ke dalam air dengan melakukan pengolahan limbah pra pembuangan dengan
memanfaatkan lingkungan dan proses alami seperti fotoremediasi (Paramitasari,
2014).
Fitoremediasi berasal
dari bahasa Yunani Kuno yaitu nabati/ tanaman, dan bahasa Latin yaitu remedium
(memulihkan keseimbangan atau perbaikan); menggambarkan pengobatan masalah lingkungan
(bioremediasi) melalui penggunaan tanaman yang mengurangi masalah lingkungan
tanpa perlu menggali bahan kontaminan dan membuangnya di tempat lain.
Fitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan polutan dari tanah
atau perairan yang terkontaminasi. Akhir-akhir ini teknik reklamasi dengan fitoremediasi
mengalami perkembangan pesat karena terbukti lebih murah dibandingkan metode
lainnya, misalnya penambahan lapisan permukaan tanah. Fitoremediator tersebut
dapat berupa herba, semak bahkan pohon. Semua tumbuhan mampu menyerap logam
dalam jumlah yang bervariasi, tetapi beberapa tumbuhan mampu mengakumulasi unsur
logam tertentu dalam konsentrasi yang cukup tinggi (Rondonuwu, 2014).
Agen biologi yang
memiliki potensi sebagai bioremediator, salah satunya adalah tumbuhan air.
Kemampuan tumbuhan air telah banyak diuji dalam menetralisasi komponen-komponen
tertentu didalam perairan dan sangat bermanfaat dalam pengolahan limbah.
Kemampuan tumbuhan dalam menyerap logam berat sangat bervariasi. Hanya tumbuhan
tertentu yang diketahui dapat mengakumulasi logam tertentu dalam konsentrasi
yang cukup tinggi (Hidayati, 2005).
Fitoremediasi merupakan
sistem dimana tanaman tertentu bekerja sama dengan mikroorganisme dalam media
yang dapat mengubah zat berbahaya menjadi kurang atau tidak berbahaya bagi
lingkungan. Sifat hipertoleran terhadap logam berat adalah kunci karakteristik
yang mengindikasikan sifat hiperakumulator suatu tumbuhan. Suatu tumbuhan dapat
disebut hiperakumulator apabila memiliki karakter-karakter sebagai berikut: (1)
Tumbuhan memiliki tingkat laju penyerapan unsur dari tanah yang lebih tinggi
dibanding tanaman lainnya, (2) Tumbuhan dapat mentoleransi unsur dalam tingkat
yang tinggi pada jaringan akar dan tajuknya, dan (3) Tumbuhan memiliki laju
translokasi logam berat dari akar ke tajuk yang tinggi sehingga akumulasinya
pada tajuk lebih tinggi dari pada akar (Brown et al., 1995).
Tanaman air mampu menyerap bahan
radioaktif sehingga dapat digunakan untuk mengurangi limbah akibat pencemaran
bahan radioaktif di lingkungan. Salah satu contoh tumbuhan yang mampu menyerap
bahan radioaktif adalah kayu apu (Pistia stratiotes). Kayu apu adalah jenis
tanaman mengapung yang dapat digunakan untuk pengolahan limbah karena tingkat
pertumbuhannya yang tinggi serta kemampuannya menyerap hara langsung dari kolam
air (Suryati & Priyanto, 2003). Tumbuhan kayu
apu atau water
lettuce merupakan tumbuhan
yang dapat berkembang biak tidak hanya secara generatif yaitu melalui
penyerbukan pada bunga, namun juga secara vegetatif. Perkembangbiakan vegetatif
dapat dilakukan dengan membentuk stolon. Menurut Langeland (2008), Stolon tersebut dapat terpotong
pada ujungnya dan akan terlepas dan tumbuh menjadi individu baru.
Adaptasi fisiologis yang
dilakukan tumbuhan kayu apu untuk mampu hidup di area perairan dan
tetap mendapatkan cahaya matahari serta
udara untuk proses fotosintesis diantaranya adalah akar serabut yang membentuk struktur seperti keranjang
dan dikelilingi gelembung udara, sehingga dapat meningkatkan daya apung
tumbuhan tersebut. Selain itu, kayu apu mempunyai banyak akar tanbahan yang
penuh dengan bulu-bulu akar yang halus, panjang dan lebat sehingga diduga
mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mengikat bahan organik dan pencemar
lainnya yang terlarut dalam air. Letak daun berupa rosset dan bentuk daun
melebar membantu tumbuhan kayu apu mengapung dipermukaan air. penampakan daun kayu
apu secara histologis terdapat rongga kosong pada jaringan mesofilnya yang
disebut jaringan aerenkim yang menunjukan cara kayu apu untuk beradaptasi
dengan lingkungan perairan untuk dapat mengapung. Tumbuhan memiliki mekanisme
tersendiri untuk mencegah tubuhnya dari keracunan logam berat. Menurut Fitter
& Hay (1991) dalam Panjaitan (2009), terdapat dua mekanisme yang mungkin
dilakukan tumbuhan dalam menghadapi konsentrasi toksik, yakni ameliorasi dan
toleransi.
Tumbuhan ini memiliki suatu
kemampuan yang dapat membantu perbaikan lingkungan air yang tercemar. Melihat
kemampuan yang dimiliki kayu apu (P.
stratiotes), maka perlu adanya penelitian terhadap jenis tanaman ini. Kurangnya pemahaman dan perhatian terhadap
tanaman kayu
apu yang dianggap
sebagai gulma bagi pertanian, ternyata memiliki potensi yang baik untuk memperbaiki kondisi air yang tercemar logam berat. Pendekatan secara adapatatif, fisiologis, ataupun morfologis membantu dalam mengetahui
kemampuan dari suatu jenis tumbuhan dalam melakukan kinerja biologis dan
efektifitas yang dimiliki tiap organel-organelnya. Struktur tubuhnya memiliki
kemampuan tertentu untuk menjalankan proses adaptasi terhadap lingkungannya
sehingga mampu bertahan hidup dengan kondisi tertentu dan menjadikannya bioparameter terhadap kondisi lingkungan yang
tercemar (Robert, 2008). Faktor yang juga diduga mempengaruhi kemampuan tanaman
dalam mengakumulasi logam dalam jaringannya adalah lama waktu kontak tumbuhan
dengan limbah. Menurut Widiarso (2011), nilai akumulasi logam berat akan
meningkat seiring dengan lama waktu pemaparan.
Merkuri merupakan salah
satu jenis logam berat yang termasuk kategori limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3) karena dapat membahayakan makhluk hidup dan mencemari lingkungan secara
alamiah merkuri terdapat di lingkungan umumnya berasal dari kegaiatan gunung
api. Keberadaan logam selain karena adanya gunung api juga dapat berasal dari
kegiatan pertambangan. Masuknya merkuri ke dalam lingkungan secara alami masih
dapat ditolerir alam, namun masuknya merkuri akibat kegiatan pertambangan sulit
terurai secara alami karena merkuri yang masuk ke lingkungan terus menerus dan
kadarnya yang tinggi. Peningkatan kadar merkuri ini dapat mengkontaminasi
makhluk air seperti ikan-ikan. Lebih lanjut, ikan yang mengandung merkuri
dimakan manusia dan terakumulasi di dalam tubuh manusia (Polii & Sonya,
2002).
Merkuri yang masuk
kedalam tubuh manusia dapat menghambat enzim glutathione reductase dan seric phosproglucose
isomerase serum dengan mengikat gugus –SH (sulfihidril) dan terakumulasi
dapat merusak otak, ginjal, dan hati. Kerusakan jangka panjangnya dapat merusak
system saraf pusat yang dapat memberikan efek yang sangat berbahaya, selain itu
juga dapat mengakibatkan rusaknya kromosom yang menyebabkan cacat bawaan. Oleh
karena itu, air limbah yang mengandung merkuri harus diolah terlebih dahulu
agar mempunyai kualitas yang sama dengan kualitas air lingkungan yang tidak bersifat
toksik bagi makhluk hidup (Polii & Sonya, 2002).
II.
MATERI DAN CARA
KERJA
A.
Materi
1.
Alat
dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam Praktik
Kerja Lapangan mengenai “Perlakuan Fitoremediasi Sebagai Upaya Pemulihan
Kualitas Lingkungan Tercemar Merkuri Menggunakan Kayu Apu (Pistia Stratiotes)” adalah jar
kaca, spatula, label, bak plastik, timbangan analitik, plastik, alat tulis, dan
kamera.
Bahan-bahan yang digunakan adalah tanaman kayu apu (Pistia statiotes), akuades, pupuk Grow more, HgCl₂, larutan media Hoagland
yang terdiri dari komponen makro NaNO₃, KH₂PO₄, CaCl₂, MgSO₄, iron stok FeSO₄.7H₂O, komponen mikro H₂BO₃, MnCl₂.4H₂O, ZnSO₄.7H₂O, NaMoO₄.2H₂O, CuSO₄.5H₂O, dan EDTA C₁₀H₁₄N₂O₈.2H₂O.
B.
Cara Kerja
Praktik Kerja Lapangan dilakukan
dengan cara :
1. Sumber
merkuri dari HgCl₂
yang diambil dari ruang kimia, lalu ditimbang sesuai konsentrasi merkuri yang
digunakan dalam perlakuan yaitu 0 ppm, 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, dan 20 ppm dengan
2 kali pengulangan. 0 ppm, 7,5 ppm, 12,5 ppm, 17,5 ppm dan 22,5 ppm dengan 2
kali pengulangan, masing-masing dilarutkan dalam 200 ml akuades.
2. Bobot
merkuri berdasarkan konsentrasi perlakuan yang didapat, dimasukan kedalam
plastik dan diberi label.
3. Larutan
media hoagland dibuat dengan
sebelumnya menimbang komponen media hoagland
yang diambil dari ruang kimia. Setelah ditimbang, dimasukkan kedalam
plastik dan diberi label.
4. Tanaman
kayu apu yang didapatkan dari sekitar wilayah Puspiptek Serpong dibersihkan
dari kotoran, dipilah berdasarkan ukurannya agar variabel umur kayu apu yang
digunakan dalam perlakuan sama, lalu diletakkan di wadah plastik.
5. Tanaman
kayu apu dimasukan kedalam bak plastik yang berisi pupuk grow more dengan berat 2 gram yang dilarutkan dalam 4 liter
akuades, diaduk hingga merata menggunakan spatula.
6. Tanaman
kayu apu diaklimatisasi selama 5 hari, setelah itu ditimbang bobotnya setelah
aklimatisasi sebagai bobot awal sebelum perlakuan.
7. Akuades
sebanyak 4 liter dicampurkan media hoagland
lalu diaduk hingga tercampur dan dimasukkan kedalam jar sebanyak 200ml.
8. Jar
yang sudah terisi larutan media hoagland,
dimasukkan merkuri sesuai dengan konsentrasi perlakuan lalu diaduk hingga
merata dalam ruang asam.
9. Tanaman
kayu apu dimasukan kedalam jar, lalu diluar jar diberi label konsentrasi
merkuri dan bobot tanaman kayu apu.
10. Proses
perlakuan kontak tanaman kayu apu dengan logam berat merkuri dilakukan selama 7
hari, setiap hari dilakukan pengamatan.
11. Catat
hasil pengamatan dengan parameter yang diamati diantaranya adalah akar, batang,
dan daun.
12. Tanaman
kayu apu setelah proses perlakuan kontak dengan logam berat merkuri selesai,
ditimbang kembali agar didapatkan bobot akhir perlakuan.
C.
Lokasi
dan Waktu Praktik Kerja Lapangan
Praktik Kerja Lapangan dilaksanakan selama 21 hari, dimulai
tanggal 21 Januari 2015 – 10 Februari
2015 di Balai Teknologi Lingkungan (BTL), Gedung Geostech BPPT Serpong,
Tangerang Selatan.
III. EVALUASI
HASIL KERJA
A.
Profil Balai Teknologi Lingkungan
1.
Sejarah Singkat
Balai Teknologi Lingkungan (BTL) adalah salah satu unit kerja dibawah
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). BTL pada awalnya memiliki nama
Laboratorium Teknologi Lingkungan (LTL), yang berfungsi sebagai laboratorium
pendukung kegiatan Biotechnology
Indonesia Germany (BTIG) di Direktorat Teknologi Pemukiman dan Lingkungan
Hidup (Dit. TPLH). Dalam struktural administratif LTL dibina oleh Kedeputian
Bidang Pengembangan Teknologi (BangTek). Laboratorium Teknologi Lingkungan
(LTL) bertahan hingga tahun 1999. Selanjutnya, pada tahun 1999 hingga 2001,
Direktorat TPLH diganti menjadi Direktorat Teknologi Lingkungan (DTL) dan
Kedeputian Bidang BangTek menjadi Kedeputian Bidang Teknologi Informasi Energi
dan Material (TIEM). Pada tahun 2001 hingga 2004, nama direktorat di lingkungan
BPPT menjadi PUSAT dan DTL menjadi Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Lingkungan (P3TL). MenPAN (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara) menyetujui
pembentukan Balai di lingkungan BPPT pada Maret 2001 dengan surat keputusan No.
83/M.PAN/2/2001. Kemudian, LTL berubah status menjadi BTL berdasarkan keputusan
Kepala BPPT No. 030/KP/KA/IV/2002.
2.
Tugas
BTL menjalankan tugas pokok yang merupakan penajaman tugas pokok BPPT
sesuai dengan bidang kompetensi lembaga yaitu melaksanakan tugas penelitian,
pengembangan serta penerapan teknologi di bidang remediasi lingkungan,
konservasi lingkungan, dan analisi kualitas lingkungan.
BTL dalam pelaksanaan berbagai kegiatannya, memiliki visi dan misi. Visi
BTL adalah menjadi pusat pelayanan unggulan nasional di bidang teknologi
perlindungan lingkungan. Sedangkan misi BTL adalah memberikan penyelesaian
nyata kepada masyarakat (LSM dan Swasta), pemerintah, dan industri khususnya
IKM dan UKM dalam upaya perlindungan lingkungan melalui pengujian, konsultasi
teknis, pelatihan, pengkajian, dan penerapan teknologi.
3.
Struktur Organisasi
Kepala
BTL
Dr. Ir. Arie Herlambang, M.Si
|
Sub
Bagian Tata Usaha dan Keuangan / PPK
Drs. Djoko Prasetyo
|
Seksi
Pengembangan Teknologi Perlindungan Lingkungan
Dwindrata B. Aviantara, MSMC
|
Seksi
Pelayanan Jasa Teknologi dan Kerjasama
Dr. Dipl-Ing M. Abdul Kholiq, M.Sc
|
Forum
Jasa Fungsional
|
Laboratorium
Analitik (Susi Sulistia, S. Si)
Ekotoksikologi (Dwindrata B.A., S.Si, MSMC)
Proses dan Unit Operasi (Dr. Ing. M.A. Kholiq,
MSc)
Mikrobiologi (Dr. Hanies Ambarsari, B.Sc., M.
ApplSc., PhD.
Kultur Jaringan Tanaman dan Green House (Tuti Suryati, S.Si)
|
Gambar 3.1 Struktur Organisasi BTL
|
4.
Laboratorium
a. Laboratorium
Mikrobiologi
Salah satu laboratorium
yang ada di Balai Teknologi Lingkungan – BPPT Serpong adalah laboratorium
mikrobiologi. Laboratorium mikrobiologi melakukan kegiatan penelitian
pengembangan, perekayasaan, dan aplikasi mikroba untuk membantu pemecahan
masalah di bidang lingkungan. Berbagai pengembangan mikroba dilakukan
diantaranya untuk mengolah limbah cair dan limbah padat, serta untuk
mendegradasi senyawa spesifik seperti: minyak atau lemak, surfaktan, ammonia,
logam berat, dan fenol. Laboratorium in dilengkapi oleh berbagai peralatan dan
bahan yang mendukung penelitian, seperti laminar, mikroskop, neraca, shaker, dan berbagai peralatan yang
terbuat dari gelas.
b. Laboratorium
Analitik
Laboratorium Analitik sudah terakreditasi
menurut standar ISO17025. Laboratorium ini memiliki fasilitas yang diperlukan
untuk pengujian fisisk, kimia, serta biologi. Laboratorium ini sudah dilengkapi
dengan instrumentasi mutakhir seperti Atomic Absorption Spectrophotometer
(AAS), Gas Chromatography Mass Spectrometer (GC-MS), dan High
Perfomance Liquid Chromatography.
c. Laboratorium Ekotoksikologi dan Biomonitoring
Laboratorium Ekotoksikologi danB iomonitoring memiliki
fasilitas yang diperlukan untuk penelitian dan pengujian kualitas lingkungan
berdasarkan respon biota. Laboratorium ini juga aktif melakukan kegiatan di
bidang environmental risk assessment, khususnya kajian mengenai
bioavailabilitas, biomagnifikasi, dan biokonsentrasi bahan xenobiotik.
Terapan yang telah dilakukan antara lain, pemeriksaan bioavailabilitas,
biokonsentrasi serta biomagnifikasi xenobiotik pada hewan darat dan air serta
pemanfaatan tumbuhan sebagai sebagai bioakumulator logam berat dalam teknologi
fitoremediasi.
d. Laboratorium Proses dan Unit
Operasi
Laboratorium Proses dan Unit Operasi
memiliki fasilitas yang diperlukan untuk merekayasa proses pengolahan limbah
cair dan padat, penyediaan alat bersih, pemodelan proses, dan remediasi
lingkungan. Laboratorium ini memiliki plug and play unit untuk
mensimulasikan kondisi lingkungan. Fasilitas yang dimiliki laboratorium
ini antara lain bioreaktor aerobik dan anaerobik berbagai tipe, pilot, gas
flow meter, methane meter, pompa peristaltik, dan pH control.
Terapan yang telah dilakukan antara lain, perancangan pengelolaan limbah
padat dan air limbah rumah potong hewan, rancang bangun unit pengolahan air
limbah pengrajin/industri tahu tempe, teknologi pengelolaan air bersih dan
pengelolaan limbah rumah sakit, rancangan instalasi pengolahan air limbah
(IPAL), dan teknologi pengolahan sampah domestik menjadi energi, pupuk cair,
dan kompos.
B. Deskripsi Kegiatan
Pelaksanaan kerja praktik ini dilakukan kegiatan
fitoremediasi skala laboratorium dengan menggunakan tanaman Kayu Apu (Pistia stratiotes) sebagai upaya pemulihan
kualitas lingkungan terutama pada lingkungan perairan yang tercemar logam berat
merkuri. Langkah pengerjaan dalam penelitian kerja praktik ini adalah sebagai
berikut:
Studi
Pustaka dan Jurnal
|
Preparasi
Alat dan Bahan
|
Pengambilan
dan Seleksi Sampel Tanaman Kayu Apu
|
Aklimatisasi
Tanaman Kayu Apu
|
Penimbangan
Bobot Awal Tanaman Kayu Apu
|
Perlakuan
Fitoremediasi pada media yang mengandung merkuri
|
Pengamatan
Tanaman Kayu Apu
|
Penimbangan
Bobot Akhir Tanaman Kayu Apu
|
Hasil Pengamatan
|
Gambar 3.2
Bagan Alir Penelitian
|
1.
Pengambilan dan Seleksi Sampel Tanaman Kayu Apu
Tanaman kayu apu yang didapatkan dari sekitar wilayah
Puspiptek Serpong dibersihkan dari kotoran, dipilah berdasarkan ukurannya yaitu ukuran besar dan sedang agar variabel umur kayu apu yang digunakan dalam perlakuan sama. Sebanyak 20 tanaman kayu apu yang dipilih
berdasarkan kesesuaian ukuran.
2.
Aklimatisasi dan Penimbangan Bobot Awal Tanaman
Kayu Apu
Kayu apu yang sudah melalui tahapan seleksi, segera di aklimatisasi pada
bak plastik ukuran 37,5 cm x 27 cm yang didalamnya sudah dilarutkan 2 gram
pupuk growmore dan 4 L akuades (1:2).
Proses aklimatisasi bertujuan agar tanaman tidak stress dan tumbuh dengan baik
sebelum dilakukan perlakuan fitoremediasi pada media yang mengandung merkuri.
Bak plastik diletakkan pada ruangan yang terlindung dari hujan dan terkena
sinar matahari yang cukup sehingga proses fotosintesisnya tidak terganggu. Setelah
proses aklimatisasi, tanaman kayu apu di timbang agar diperoleh bobot awal
sebelum perlakuan fitoremediasi.
3.
Perlakuan Fitoremediasi pada Media yang Mengandung
Merkuri
Kayu apu setelah diaklimatisasi,
segera dipindahkan ke dalam jar yang
berisi media hoagland yang sudah
dilarutkan dengan merkuri. Saat melarutkan merkuri dilakukan di ruang asam agar
tidak mencemari ruangan laboratorium. Tiap jar diberi label konsentrasi
perlakuan, kode tanaman, serta keterangan bobot awal kayu apu. Sehingga,
memudahkan dalam pengukuran bobot akhir dan dalam pengamatannya. Konsentrasi
merkuri pada perlakuan yaitu 0 ppm, 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, dan 20 ppm dan 0
ppm, 7,5 ppm, 12,5 ppm, 17,5 ppm dan 22,5 ppm masing-masing dengan dua kali
pengulangan. Pengamatan kayu apu sebagai agen fitoremediator dilakukan setiap
hari selama 7 hari masa perlakuan dengan mencatat perubahan morfologi yang
terjadi. Pada hari ke-1 pengamatan, tanaman kayu apu mengalami tanda-tanda
kekurangan nutrisi terlihat dari fisik daun yang menggulung dan berwarna
kekuningan oleh karena itu, ditambahkan pupuk growmore sebanyak 0,1 gram pada masing-masing jar. Jar diletakkan pada ruangan yang terlindung dari hujan dan terkena sinar
matahari yang cukup sehingga proses fotosintesis tanaman kayu apu tidak terganggu. Pada hari terakhir pengamatan dilakukan
penimbangan bobot akhir kayu apu setelah perlakuan fitoremediasi selama 7 hari,
sebelumnya kayu apu dikeringanginkan selama 1 jam kemudian ditimbang. Serta
dilakukan pembersihan alat-alat dan tempat kerja.
C.
Hasil
Pengamatan Dan Analisis Data
Gambar 3.3 Rata-rata Penurunan Biomassa Kayu
Apu Selama Perlakuan Fitoremediasi
|
Biomassa
kayu apu mengalami perubahan setelah adanya perlakuan selama 7 hari pada media
yang mengandung merkuri. Terjadi penurunan biomassakayu apu, rata-rata
penurunan biomassa kayu apu tertinggi terjadi pada konsentrasi perlakuan 22,5
ppm merkuri sebesar 1,95 gram. Sedangkan, penurunan rata-rata biomassa kayu apu
terkecil pada konsentrasi 17,5 ppm sebesar 0,275 gram. Peningkatan penyerapan
dan kandungan merkuri pada kayu apu berdampak pada penurunan biomassa dari
bobot awalnya. Perbedaan penurunan bobot kayu apu pada masing-masing jar
menunjukan kemampuan adaptasi tumbuhan tersebut. Penurunan biomassa tanaman
dipengaruhi oleh adanya toksisitas logam dalam tumbuhan. Gejala tersebut juga
ditunjukkan oleh penelitian Vesely et
al. (2011), yakni perlakuan Pb 2 mmol/l mengakibatkan penurunan produksi
biomassa pada bobot kering daun Pistia stratiotes. Kayu apu menunjukkan
gejala tersebut pada daunnya, disamping itu akar juga berpengaruh terhadap
biomassa kayu apu. Akar kayu apu mengalami kerontokan dalam jumlah yang besar
pada dasar jar ketika akhir
penelitian. Hal tersebut mengindikasikan kayu apu kehilangan banyak akar
sehingga bobotnya menurun.
Penurunan
biomassa yang berbeda dipengaruhi juga oleh panjang akar kayu apu, karena tidak
ada proses penyeragaman panjang akar sebelum perlakuan fitoremediasi sehingga
tanaman memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyerap logam berat. Akar
serabut dalam jumlah banyak dapat menyerap mutrisi dan zat-zat lain lebih
tinggi. Menurut Hartati et al. (2012)
semakin tinggi kadar logam berat dalam media tanaman maka penurunan laju
pertumbuhan tanaman semakin meningkat yang disebabkan masuknya logam berat ke
dalam sel dan berikatan dengan enzim sebagai katalisator sehingga reaksi kimia
dalam sel akan terganggu. Kerusakan tersebut ditandai dengan nekrosis dan
klorosis pada akar dan daun (Palar 2004).
Nyoman
(2007) dalam Syahreza (2012) mengemukakan faktor yang dapat mempengaruhi
penyerapan adalah jenis adsorbat, sifat adsorben, tekanan, PH, larutan,
temperatur, waktu kontak, dan konsentrasi. Waktu kontak berkaitan dengan waktu
tercapainya keadaan setimbang pada proses penyerapan. Jumlah zat yang diserap
merupakan proses kesetimbangan karena laju penyerapan disertai dengan
terjadinya desorpsi. Waktu kontak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
penyerapan merkuri oleh kayu apu. Semakin lama waktu kontak dengan limbah,
akumulasi merkuri dalam kayu apu semakin tinggi.
Pengamatan
perubahan morfologi tumbuhan kayu apu dilakukan untuk mengetahui kondisi
kesehatan tumbuhan. Perubahan fisik merupakan respon tumbuhan terhadap logam
berat yang menunjukkan kemampuan adaptasi tumbuhan menghadapi kontak langsung
logam berat. Perubahan fisik tumbuhan pada 3 hari pertama tidak banyak terjadi,
hanya terlihat perubahan warna pada daun. Perubahan yang cukup signifikan pada kayu
apu terjadi pada hari ke-7 perlakuan.
Tabel
3.1 Perubahan Morfologi Kayu Apu Selama Perlakuan
Tanaman Perlakuan Fitoremediasi
|
Kriteria Kayu Apu Yang Sehat
|
Kondisi Setelah Perlakuan (Hari Ke-)
|
||
0
Hari
|
3
Hari
|
7
Hari
|
||
Kayu Apu
(Pistia stratiotes)
|
Daun berwarna
hijau muda, makin ke pangkal makin putih dan berwarna kuning apabila tua.
Akar jumbai panjang berwarna putih dan mengambang bebas
|
Daun dan akar
terlihat segar
|
Daun menguning
|
Daun kecoklatan,
akar banyak yang tenggelam, ujung daun menggulung dan bahkan kematian pada tanaman
perlakuan
|
Kayu
apu mengalami perubahan yang ditandai dengan kondisi daun yang mulai berwarna
kekuningan dan akhirnya sebagian mati. Akar tanaman kayu apu juga mengalami
kerontokan. Hal tersebut juga ditunjukkan oleh penelitian Vesely et al. (2011), yakni semakin
bertambahnya waktu kontak dengan logam berat, Pistia stratiotes menunjukkan
gejala klorosis dan sebagian akar akan mati kemudian rontok. Menurut Patra et al. (2004), konsentrasi
logam berat yang tinggi secara signifikan mengakibatkan keseimbangan air pada
tumbuhan terganggu sehingga tumbuhan menjadi kekurangan air. Hal tersebut
dijelaskan oleh Tangahu et al. (2011)
bahwa kontak langsung tumbuhan dengan logam berat akan mengakibatkan kerusakan
dan perubahan warna pada daun yang mengindikasikan penurunan tingkat klorofil
pada tumbuhan.
Smith
(1981) dalam Onggo (2005) menerangkan bahwa gejala yang ditimbulkan akibat
pencemaran logam berat yakni klorosis dan nekrosis pada ujung serta sisi daun.
Penampilan kerusakan tanaman tidak dapat digunakan sebagai indikator banyaknya
kandungan logam berat yang diserap karena tanaman yang penampakannya sehat
dapat mengandung lebih banyak logam berat dibandingkan dengan tanaman yang
sakit. Tumbuhan yang menunjukkan gejala tanaman yang tidak sehat adalah kayu apu.
Hal tersebut dikarenakan kandungan merkuri dalam kayu apu tinggi sehingga
mengakibatkan terjadinya gejala klorosis pada daun dan rontoknya akar.
Tangahu
et al. (2011),
mengatakan bahwa tumbuhan memiliki mekanisme yang efisien untuk memperoleh
nutrisi dari lingkungan pada kondisi rendah nutrien kemudian dipindahkan dan
disimpan dalam organ tertentu. Mekanisme tersebut juga dilakukan dalam
penyerapan zat racun yang memiliki kandungan kimia serupa dengan zat esensial
yang dibutuhkan tumbuhan. Proses absorpsi racun termasuk logam berat dapat
terjadi melalui beberapa bagian tumbuhan dengan mekanisme translokasi
(Soemirat, 2003). Menurut Priyanto dan Joko (2004), tumbuhan mengapung dapat
digunakan sebagai media pengolah limbah karena akarnya menjadi tempat filtrasi
dan adsopsi padatan tersuspensi.
Kayu
apu kontrol yang tidak diberi perlakuan fitoremediasi cemaran merkuri pada
media pertumbuhannya mengalami perubahan morfologi yang hampir serupa dengan
kayu apu yang diberi perlakuan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh umur kayu
apu yang dijadikan sampel hampir memasuki fase tua. Selain itu perpindahan dari
media aklimatisasi menggunakan pupuk growmore
ke media hoagland yang diberi
konsentrasi merkuri menyebabkan tanaman kembali memasuki fase stress dan
adaptasi ulang dikarenakan komponen media penyusunnya berbeda.
Ditjen tata perkotaan dan pedesaan (2003), melaporkan bahwa proses
dalam fitoremediasi berlangsung secara alami dengan enam tahap proses secara
serial yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan atau pencemar yang
berada disekitarnya yaitu:
- Phytoacumulation (phytoextraction) yaitu proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari media sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan, proses ini disebut juga hyperacumulation. Zat kontaminan kemudian ditranslokasikan ke seluruh tubuh seperti batang, daun dan akar.
- Rhizofiltration (rhizo= akar) adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan oleh akar untuk menempel pada akar. Proses ini telah dibuktikan dengan percobaan menanam bunga matahari pada kolam mengandung zat radio aktif di Chernobyl Ukraina.
- Phytostabilization yaitu penempelan zat-zat kontaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin terserap ke dalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut menempel erat (stabil) pada akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media.
- Rhyzodegradation disebut juga enhenced rhezosphere biodegradation, atau plented-assisted bioremidiation degradation, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas mikroba yang berada disekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi dan bakteri.
- Phytodegradation (phytotransformation) yaitu proses yang dilakukan tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan susunan molekul yang lebih sederhana yang dapat berguna bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat berlangsung pada daun, batang, akar atau di luar sekitar akar dengan bantuan enzim yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri. Beberapa tumbuhan mengeluarkan enzim berupa bahan kimia yang mempercepat proses degradasi.
6.
Phytovolatization yaitu proses menarik
dan transpirasi zat kontaminan oleh tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi
larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya di
uapkan ke atmosfir. Beberapa tumbuhan dapat menguapkan air 200 sampai dengan
1000 liter perhari untuk setiap batang.
Sel-sel akar tanaman umumnya mengandung ion
dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari pada medium sekitarnya yang biasanya
bermuatan negatif. Penyerapan ini melibatkan energi, sebagai konsekuensi dan
keberadaannya, kation memperlihatkan adanya kemampuan masuk ke dalam sel secara
pasif kedalam gradient elektrokimia, sedangkan anion harus diangkut secara
aktif kedalam sel akar tanaman sesuai dengan keadaan gradient konsentrasi
melawan gradient elektrokimia (Foth, 1991). Di dalam akar, tanaman biasa melakukan perubahan
pH kemudian membentuk suatu zat khelat yang disebut fitosiderofor (molekul yang
mampu mengikat ion logam). Zat inilah yang kemudian mengikat logam kemudian
dibawa kedalam sel akar. Agar penyerapan logam meningkat, maka tumbuhan ini
membentuk molekul reduktase di membran akar. Reduktase ini berfungsi
mereduksi logam yang selanjutnya diangkut melalui kanal khusus di dalam membran
akar. Sedangkan model tranportasi didalam tubuh tumbuhan adalah logam yang
dibawa masuk ke sel akar kemudian ke jaringan pengangkut yaitu xylem dan floem,
kebagian tumbuhan lain. Sedangkan lokalisasi logam pada jaringan bertujuan
untuk mencegah keracunan logam terhadap sel, maka tanaman akan melakukan detoksifikasi, misalnya menimbun logam kedalam
organ tertentu seperti akar.
Ada 2 cara penyerapan ion
ke dalam tanaman yang pertama melalui aliran massa, ion
dalam air bergerak menuju akar gradient potensial yang disebabkan oleh transpirasi. Kedua, secara difusi,
gradient konsentrasi dihasilkan oleh pengambilan ion pada permukaan akar (Fitter dan Hay, 1991). Dalam
pengambilan ada dua hal penting, yaitu pertama energi metabolik yang diperlukan
dalam penyerapan unsur hara sehingga apabila respirasi akan dibatasi maka
pengambilan unsur hara sebenarnya sedikit. Dan kedua, proses pengambilan
bersifat selektif, tanaman mempunyai kemampuan menyeleksi penyerapan ion tertentu
pada kondisi lingkungan yang luas. (Foth, 1991).
Gambar 3.4 Struktur Fitokelatin
(Glisin-Sistein-Sitein-Glutamat)
|
Penyerapan merkuri yang
terjadi pada kayu apu adalah fitoekstraksi yakni proses
penyerapan kontaminan bersamaan dengan penyerapan nutrient dan air oleh akar.
Massa kontaminan tidak dirombak, namun diendapkan di bagian akar. Kemampuan
penyerapan juga dipengaruhi oleh kandungan kimia dominan yang terkandung dalam
organ tumbuhan. Ulfin dan Widya (2005) mengemukakan bahwa kayu apu mengandung banyak
fitokelatin di dalam akarnya. Hal tersebut mempengaruhi pengikatan logam berat
oleh organ pada tumbuhan karena fitokelatin merupakan enzim yang digunakan
untuk mengikat logam.
Fitokelatin adalah sebuah peptida kecil yang
kaya akan asam amino sistein yang mengandung belerang. Peptida ini biasanya
memiliki 2 hingga 8 asam amino sistein di pusat molekulnya, serta sebuah asam
glutamat dan sebuah glisin pada ujung-ujungnya yang berlawanan. Atom belerang
dalam sistein berfungsi sebagai pengikat logam (Salisbury dan Ross 1995 dalam
Andika et al., 2009). Proses penyerapan terjadi
karena ion merkuri (Hg2+) yang banyak terkandung
dalam medium perlakuan berikatan dengan elektron bebas terdekat. Atom belerang (S) pada
struktur fitokelatin menyediakan 2 buah elektron bebas, sedangkan Hg2+ memiliki 2 buah muatan
yang berarti membutuhkan 4 elektron bebas. Hal ini menyebabkan terbentuknya
ikatan sejenis dari arah muatan ion yang belum berpasangan untuk melengkapi
ikatan senyawa kompleks. Senyawa kompleks yang terbentuk terdiri atas Hg2+ yang dikelilingi dua
fitokelatin (Andika et al., 2009). Terbentuknya
senyawa kompleks baru mengakibatkan Hg diikat dan diangkut oleh akar kayu apu sehingga terjadi
akumulasi merkuri
pada tubuh tumbuhan.
Gambar 3.5 Senyawa Kompleks Ikatan Fitokelatin
Hg2+
|
Tumbuhan memiliki mekanisme tersendiri untuk
mencegah tubuhnya dari keracunan logam berat. Menurut Fitter dan Hay (1991)
dalam Panjaitan (2009) terdapat dua mekanisme yang mungkin dilakukan tumbuhan
dalam menghadapi konsentrasi toksik, yakni ameliorasi dan toleransi. Ameliorasi
dilakukan dengan pendekatan lokalisasi dalam akar, ekskresi secara aktif
melalui kelenjar tajuk atau secara pasif melalui akumulasi pada daun tua lalu
terjadi absisi daun, dilusi (pengenceran), dan inaktivasi secara kimia.
Toleransi dilakukan oleh tumbuhan dengan mengembangkan sistem metabolik yang
dapat berfungsi pada konsentrasi toksik tertentu. Mekanisme yang dilakukan
kiapu untuk menghadapi kondisi tersebut adalah toleransi dengan perubahan
morfologi pada akar. Penghambatan perpanjangan akar dan rontoknya beberapa bulu
akar menjadi efek dari respon toksisitas logam berat karena adanya penghambatan pembelahan
sel akar dan atau penurunan ekspansi sel dalam zona perpanjangan di jaringan
meristem akar (Neuenschwander et al., 2009).
Penggunaan tumbuhan untuk meremediasi logam
memiliki kelebihan karena logam berat yang terserap ke dalam akar tidak dapat
terlepas kembali ke aliran air tanah. Namun penggunaan tumbuhan dalam remidiasi
memberikan resiko masuknya logam berat ke dalam rantai makanan bagi ternak,
terakumulasi dalam tubuhnya dan dikonsumsi oleh manusia. Menurut Palar (2004), masuknya merkuri kedalam
tubuh organisme hidup terutama melalui makanan, karena hampir 90% dari bahan
beracun atau logam berat merkuri masuk melalui makanan, sisanya masuk secara
difusi atau perembesan lewat jaringan dan melalui peristiwa pernapasan. Salah satu usaha untuk menghindari bahaya logam berat, antara lain
dengan menghindari sumber bahan pangan yang memiliki risiko mengandung logam
berat, serta mencuci dan mengolah bahan pangan yang akan dikonsumsi dengan baik
dan benar. Selain itu, diperlukan pula kombinasi antara aplikasi fitoremediasi dengan
teknologi konvensional.
IV.
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil
dan pembahasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa :
1.
Peningkatan penyerapan kandungan merkuri
pada kayu apu serta ketidakseragaman panjang akar kayu apu berdampak pada
penurunan biomassa dari bobot awalnya.
2. Kandungan
merkuri dalam kayu apu yang tinggi mengakibatkan terjadinya gejala klorosis
pada daun dan rontoknya akar.
3.
Penyerapan merkuri yang terjadi pada
kayu apu adalah fitoekstraksi (fitoakumulasi).
4.
Kayu apu mengandung banyak fitokelatin
di dalam akarnya. Hal tersebut mempengaruhi pengikatan logam berat oleh organ
pada tumbuhan karena fitokelatin merupakan enzim yang digunakan untuk mengikat
logam.
B.
Saran
Sebaiknya
dilakukan pengukuran konsentrasi merkuri pada air media perlakuan dan
pengukuran kandungan merkuri melalui proses destruksi logam berat dengan AAS
sesuai dengan metode SNI, agar diketahui konsentrasi merkuri yang mampu diserap
oleh tanaman kayu apu. Untuk mengurangi kenisbian pada hasil data sebaiknya,
metode fitoremediasi dilakukan dengan sebaik mungkin dan dengan paramater
pengamatan yang beragam.
DAFTAR
REFERENSI
Andika B, Amanda S, Fanny SR, Firliyani RN., 2009. Studi penyerapan timbal (Pb) menggunakan kayu
apu Pistia stratiotes pada air permukaan Sungai Cisadane Kota Tangerang. Makalah. Bogor. (ID). Institut Pertanian Bogor.
Brown, S.L., Chaney, R.L. Angle, J.S. & Baker,
A.J.M., 1995. Zink and Cadmium Uptake by Hyperaccumulator Thlaspi Caerulescens
Grown in Nutrient Solution Soil. Science
Society of America Journal. 59. Pp.125-133.
Ditjen
Tata Perkotaan Dan Tata Perdesaan, 2003. Fitoremediasi. http://digilib-ampl.net/file/pdf/fitoremediasi.pdf. Diakses 23 Juni 2015.
Foth,H. D., 1991. Fundamentals of Soil
Science. Wiley & Sons, Toronto : Incorporated.
Hartati I, Riwayati I, Kurniasari L., 2011. Potensi xanthate pulpa kopi sebagai adsorben
pada pemisahan ion timbal dari limbah industri batik. J Momentum 7(2), pp.25- 30.
Hidayati,
N., 2005. Fitoremediasi dan potensi Tumbuhan Hiperakumulator. Jurnal Hayati. 12(1).
Langeland, G., 2008. Code For Practice For Powdered Formula For
Plants. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Neuenschwander P, Mic HJ, Ted DC, Martin PH., 2009. Biological Control of Tropical Weeds Using
Arthropods. Cambridge University Press.
Onggo TM.,
2005. Pengaruh konsentrasi larutan berbagai senyawa timbal (Pb) terhadap
kerusakan tanaman, hasil dan beberapa kriteria kualitas sayuran daun spinasia
[makalah]. Bandung (ID). Universitas Padjadjaran.
Palar, H., 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat.
Jakarta (ID): PT. Rineka Cipta.
Panjaitan,
G.Y., 2009. Akumulasi Logam Berat Tembaga
(Cu) dan Timbal (Pb) terhadap Kerusakan Tanaman, Hasil, dan beberapa Kriteria
Kualitas Sayuran Daun Spinasia. Makalah. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Paramitasari,
A., 2014. Kemampuan Tumbuhan Air Kiapu
Pistia stratiotes dan Kiambang Salvinia molesta dalam Fitoremediasi Timbal.
Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor (IPB) Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata. pp.1.
Patra M, Bhowmik N, Bandopadhyay B, Sharma A., 2004. Comparison of mercury, lead and arsenic with
respect to genotoxic effects on plant systems and the development of genetic
tolerance. J Env and Exp. 199–223.
Polii,
B.J. & Sonya, D.N., 2002. Pendugaan Kandungan Merkuri dan Sianida di Daerah
Aliran Sungai (DAS) Buyat Minahasa. Jurnal
Ekoton. 2(1). pp. 31-37.
Priyanto B, Joko P., 2004.
Fitoremediasi sebuah teknologi pemulihan pencemaran khususnya logam berat . Internet. http://ltl.bppt.tripod.com/sublab/lflora. Diakses
tanggal 25 Juni 2015.
Robert, R., 2008. Buku Pintar Media
Of Indonesia. Jakarta.
Rondonuwu, S. B., 2014. Fitoremediasi Limbah
Merkuri Menggunakan Tanaman dan Sistem Reaktor. Jurnal Ilmiah Sains. 14(1). pp. 52-59.
Soemirat J., 2003. Toksikologi
Lingkungan. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.
Suryati,
T. & Priyanto, B., 2003. Eleminasi Logam Berat Kadmium dalam Air Limbah
Menggunakan Tanaman Air. Jurnal Tek. Ling.
P3TL-BPPT. 4(3). pp. 143-147.
Syahreza., 2012. Preparasi dan karakterisasi bentonit
tapanuli terinterkalasi surfaktan kationik odtmabr dan aplikasinya sebagai
adsorben para-klorofenol. Skripsi. Jakarta (ID):
Universitas Indonesia.
Ulfin I, Widya W., 2005.
Studi penyerapan kromium dengan kayu apu (Pistia stratiotes, L). J
Akta Kimindo. 1(1). pp. 41-48.
Vesely T, Marek N, Lukas T, Jirina S, Pavel T., 2011. Water lettuce Pistia stratiotes L.
response to lead toxicity. Springer Science and Business Media B.V.
Department of Agroenvironmental Chemistry and Plant Nutrition Faculty of
Agrobiology.
Widiarso,
T., 2011. Fitoremediasi Air Tercemar
Nikel Menggunakan Kiambang (Salvinia molesta). Skripsi. Surabaya: Institut
Teknologi Sepuluh November.
LAMPIRAN 1. Perhitungan
Berat Hg dalam HgCl2
Penghitungan berat Hg dalam HgCl2 sesuai
dengan perlakuan 200 ml yang
dilakukan saat pengujian yaitu konsentrasi 0 ppm, 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, dan 20
ppm masing-masing dengan dua kali pengulangan dan konsentrasi 0 ppm, 7,5 ppm, 12,5 ppm, 17,5 ppm, 22,5 ppm masing-masing
dengan dua kali pengulangan.
Ø Konsentrasi 5 ppm
Ø Konsentrasi 7,5 ppm
Ø Konsentrasi 10 ppm
Ø Konsentrasi 12,5 ppm
Ø Konsentrasi 15 ppm
Ø Konsentrasi 17,5 ppm
Ø Konsentrasi 20 ppm
Ø Konsentrasi 22,5 ppm
LAMPIRAN
2. Komposisi Media
1.
Media Aklimatisasi Per 1 Liter
Aquades 1 L
Pupuk
Growmore 0,5 gram
2. Media
Perlakuan Hoagland Per 1 Liter
Makro
|
CaCl2
|
3975,2
mg
|
KH2PO4
|
163
mg
|
|
KNO3
|
688
mg
|
|
MgSO4
|
408
mg
|
|
Fe
|
FeSO4.7H2O
|
2,65
mg
|
C10H14Na2O8.2H2O (EDTA)
|
4,29
mg
|
|
Mikro
|
H3BO3
|
2,37
mg
|
MnCl2.4H2O
|
1,51
mg
|
|
CUSO4.5H2O
|
0,074
mg
|
|
NA2MOO4.2H2O
|
0,074
mg
|
|
ZnSO4.7H2O
|
0,182
mg
|
LAMPIRAN
3. Pengamatan Tanaman Selama Perlakuan
Konsentrasi
0 ppm
Hari
dan Tanggal
|
Gambar
Tanaman
|
Kondisi
Tanaman
|
Senin,
2 Februari 2015
|
-
Kondisi kayu apu masih baik dan
sehat
-
Daun hijau normal
|
|
Selasa,
3 Februari 2015
|
-
Daun mengeriput dan menguning
-
Terbentuk lubang pada daun
-
Terjadi nekrosis daun
|
|
Rabu,
4 Februari 2015
|
-
Gejala menguning pada daun
bertambah
-
Daun mulai mengeriput
|
|
Kamis,
5
Februari 2015
|
-
Daun semakin menguning dan
mengeriput
-
Daun tenggelam
|
|
Jumat,
6 Februari 2015
|
-
Hampir seluruh bagian daun
menguning
-
Daun tenggelam
|
|
Senin,
9 Februari 2015
|
-
Daun menjadi rapuh
-
Warna kecoklatan pada daun
-
Daun tenggelam
-
Terkontaminasi jamur
|
|
Selasa,
10 Februari 2015
|
-
Daun berwarna kecokltan dan rapuh
-
Kontaminasi jamur semakin banyak
-
Daun tenggelam
-
Akar lepas
-
Kematian kayu apu
|
Konsentrasi
5 ppm
Hari dan
Tanggal
|
Gambar
Tanaman
|
Kondisi
Tanaman
|
Senin,
2 Februari 2015
|
-
Kondisi kayu apu masih baik dan sehat
-
Daun hijau normal
|
|
Selasa,
3 Februari 2015
|
-
Daun mengeriput dan menguning
-
Terbentuk lubang pada daun
-
Terjadi nekrosis daun
|
|
Rabu,
4 Februari 2015
|
-
Gejala menguning pada daun
bertambah
-
Daun mengeriput
|
|
Kamis,
5
Februari 2015
|
-
Daun semakin menguning dan
mengeriput
-
Daun tenggelam
|
|
Jumat,
6 Februari 2015
|
-
Hampir seluruh bagian daun
menguning
-
Daun tenggelam
|
|
Senin,
9 Februari 2015
|
-
Daun menjadi rapuh
-
Warna kecoklatan pada daun
-
Daun terkontaminasi jamur
|
|
Selasa,
10 Februari 2015
|
-
Daun berwarna kecoklatan dan
rapuh
-
Kontaminasi jamur semakin banyak
-
Daun tenggelam
-
Kematian kayu apu
|
Konsentrasi
7,5 ppm
Hari
dan Tanggal
|
Gambar
Tanaman
|
Kondisi
Tanaman
|
Senin,
2 Februari 2015
|
-
Kondisi kayu apu masih baik dan
sehat
-
Daun hijau normal
|
|
Selasa,
3 Februari 2015
|
-
Daun mengeriput dan menguning
-
Terbentuk lubang pada daun
-
Terjadi nekrosis daun
|
|
Rabu,
4 Februari 2015
|
-
Gejala menguning pada daun
bertambah
-
Daun mengeriput
|
|
Kamis,
5
Februari 2015
|
-
Daun semakin menguning dan
mengeriput
-
Daun tenggelam
|
|
Jumat,
6 Februari 2015
|
-
Hampir seluruh bagian daun
menguning
-
Daun tenggelam
|
|
Senin,
9 Februari 2015
|
-
Daun menjadi rapuh
-
Warna kecoklatan pada daun
-
Daun terkontaminasi jamur
|
|
Selasa,
10 Februari 2015
|
-
Daun berwarna kecoklatan dan
rapuh
-
Kontaminasi jamur semakin banyak
-
Daun tenggelam
-
Kematian kayu apu
|
Konsentrasi
10 ppm
Hari
dan Tanggal
|
Gambar
Tanaman
|
Kondisi
Tanaman
|
Senin,
2 Februari 2015
|
-
Kondisi kayu apu masih baik dan
sehat
-
Daun hijau normal
|
|
Selasa,
3 Februari 2015
|
-
Daun mengeriput dan menguning
-
Terbentuk lubang pada daun
-
Terjadi nekrosis daun
|
|
Rabu,
4 Februari 2015
|
-
Gejala menguning pada daun
bertambah
-
Daun mengeriput
|
|
Kamis,
5
Februari 2015
|
-
Daun semakin menguning dan
mengeriput
-
Daun tenggelam
|
|
Jumat,
6 Februari 2015
|
-
Hampir seluruh bagian daun
menguning
-
Daun tenggelam
|
|
Senin,
9 Februari 2015
|
-
Daun menjadi rapuh
-
Warna kecoklatan pada daun
-
Daun terkontaminasi jamur
|
|
Selasa,
10 Februari 2015
|
-
Daun berwarna kecoklatan dan
rapuh
-
Kontaminasi jamur semakin banyak
-
Daun tenggelam
-
Kematian kayu apu
|
Konsentrasi
12,5 ppm
Hari
dan Tanggal
|
Gambar
Tanaman
|
Kondisi
Tanaman
|
Senin,
2 Februari 2015
|
-
Kondisi kayu apu masih baik dan
sehat
-
Daun hijau normal
|
|
Selasa,
3 Februari 2015
|
-
Daun mengeriput dan menguning
-
Terbentuk lubang pada daun
-
Terjadi nekrosis daun
|
|
Rabu,
4 Februari 2015
|
-
Gejala menguning pada daun
bertambah
-
Daun mengeriput
|
|
Kamis,
5
Februari 2015
|
-
Daun semakin menguning dan
mengeriput
-
Daun tenggelam
|
|
Jumat,
6 Februari 2015
|
-
Hampir seluruh bagian daun
menguning
-
Daun tenggelam
|
|
Senin,
9 Februari 2015
|
-
Daun menjadi rapuh
-
Warna kecoklatan pada daun
-
Daun terkontaminasi jamur
|
|
Selasa,
10 Februari 2015
|
-
Daun berwarna kecoklatan dan
rapuh
-
Kontaminasi jamur semakin banyak
-
Daun tenggelam
-
Kematian kayu apu
|
Konsentrasi
15 ppm
Hari
dan Tanggal
|
Gambar
Tanaman
|
Kondisi
Tanaman
|
Senin,
2 Februari 2015
|
-
Kondisi kayu apu masih baik dan
sehat
-
Daun hijau normal
|
|
Selasa,
3 Februari 2015
|
-
Daun mengeriput dan menguning
-
Terbentuk lubang pada daun
-
Terjadi nekrosis daun
|
|
Rabu,
4 Februari 2015
|
-
Gejala menguning pada daun
bertambah
-
Daun mengeriput
|
|
Kamis,
5
Februari 2015
|
-
Daun semakin menguning dan
mengeriput
-
Daun tenggelam
|
|
Jumat,
6 Februari 2015
|
-
Hampir seluruh bagian daun
menguning
-
Daun tenggelam
|
|
Senin,
9 Februari 2015
|
-
Daun menjadi rapuh
-
Warna kecoklatan pada daun
-
Daun terkontaminasi jamur
|
|
Selasa,
10 Februari 2015
|
-
Daun berwarna kecoklatan dan
rapuh
-
Kontaminasi jamur semakin banyak
-
Daun tenggelam
-
Kematian kayu apu
|
Konsentrasi
17,5 ppm
Hari
dan Tanggal
|
Gambar
Tanaman
|
Kondisi
Tanaman
|
Senin,
2 Februari 2015
|
-
Kondisi kayu apu masih baik dan
sehat
-
Daun hijau normal
|
|
Selasa,
3 Februari 2015
|
-
Daun mengeriput dan menguning
-
Terbentuk lubang pada daun
-
Terjadi nekrosis daun
|
|
Rabu,
4 Februari 2015
|
-
Gejala menguning pada daun
bertambah
-
Daun mengeriput
|
|
Kamis,
5
Februari 2015
|
-
Daun semakin menguning dan
mengeriput
-
Daun tenggelam
|
|
Jumat,
6 Februari 2015
|
-
Hampir seluruh bagian daun
menguning
-
Daun tenggelam
|
|
Senin,
9 Februari 2015
|
-
Daun menjadi rapuh
-
Warna kecoklatan pada daun
-
Daun terkontaminasi jamur
|
|
Selasa,
10 Februari 2015
|
-
Daun berwarna kecoklatan dan
rapuh
-
Kontaminasi jamur semakin banyak
-
Daun tenggelam
-
Kematian kayu apu
|
Konsentrasi
20 ppm
Hari
dan Tanggal
|
Gambar
Tanaman
|
Kondisi
Tanaman
|
Senin,
2 Februari 2015
|
-
Kondisi kayu apu masih baik dan
sehat
-
Daun hijau normal
|
|
Selasa,
3 Februari 2015
|
-
Daun mengeriput dan menguning
-
Terbentuk lubang pada daun
-
Terjadi nekrosis daun
|
|
Rabu,
4 Februari 2015
|
-
Gejala menguning pada daun
bertambah
-
Daun mengeriput
|
|
Kamis,
5
Februari 2015
|
-
Daun semakin menguning dan
mengeriput
-
Daun tenggelam
|
|
Jumat,
6 Februari 2015
|
-
Hampir seluruh bagian daun
menguning
-
Daun tenggelam
|
|
Senin,
9 Februari 2015
|
-
Daun menjadi rapuh
-
Warna kecoklatan pada daun
-
Daun terkontaminasi jamur
|
|
Selasa,10 Februari 2015
|
-
Daun berwarna kecoklatan dan
rapuh
-
Kontaminasi jamur semakin banyak
-
Daun tenggelam
-
Kematian kayu apu
|
Konsentrasi
22,5 ppm
Hari
dan Tanggal
|
Gambar
Tanaman
|
Kondisi
Tanaman
|
Senin,
2 Februari 2015
|
-
Kondisi kayu apu masih baik dan
sehat
-
Daun hijau normal
|
|
Selasa,
3 Februari 2015
|
-
Daun mengeriput dan menguning
-
Terbentuk lubang pada daun
-
Terjadi nekrosis daun
|
|
Rabu,
4 Februari 2015
|
-
Gejala menguning pada daun
bertambah
-
Daun mengeriput
|
|
Kamis, 5 Februari 2015
|
-
Daun semakin menguning dan
mengeriput
-
Daun tenggelam
|
|
Jumat,
6 Februari 2015
|
-
Hampir seluruh bagian daun
menguning
-
Daun tenggelam
|
|
Senin,
9 Februari 2015
|
-
Daun menjadi rapuh
-
Warna kecoklatan pada daun
-
Daun terkontaminasi jamur
|
|
Selasa,
10 Februari 2015
|
-
Daun berwarna kecoklatan dan
rapuh
-
Kontaminasi jamur semakin banyak
-
Daun tenggelam
-
Kematian kayu apu
|
LAMPIRAN
5. Pengukuran Bobot Awal dan Akhir Tanaman kayu Apu
Kode
Tanaman dan Konsentrasi merkuri (ppm)
|
Bobot
Awal
|
Bobot
Akhir
|
Selisih
Bobot Awal dan Akhir
|
R10 (0 ppm)
|
4,53
|
2,72
|
1,81
|
R9 (0 ppm)
|
4,15
|
2,55
|
1,6
|
H9 (0 ppm)
|
2,19
|
1,24
|
0,95
|
H10 (0 ppm)
|
2,46
|
2,46
|
0,99
|
H2 (5 ppm)
|
5,9
|
4,28
|
1,62
|
H1 (5 ppm)
|
2,43
|
2,03
|
0,4
|
R2 (7,5 ppm)
|
4,1
|
3,31
|
0,79
|
R3 (7,5 ppm)
|
4,17
|
1,91
|
2,26
|
H3 (10 ppm)
|
3,57
|
2,73
|
0,84
|
H4 (10 ppm)
|
2,66
|
1,94
|
0,72
|
R6 (12,5 ppm)
|
2,44
|
2,27
|
0,17
|
R7 (12,5 ppm)
|
2,19
|
1,4
|
0,79
|
H5 (15 ppm)
|
4,55
|
3,94
|
0,61
|
H6 (15 ppm)
|
3,14
|
2,66
|
0,48
|
R5 (17,5 ppm)
|
4,64
|
4,53
|
0,11
|
R3 (17,5 ppm)
|
2,63
|
2,19
|
0,44
|
H7 (20 ppm)
|
2,68
|
1,85
|
0,83
|
H8 (20 ppm)
|
2,58
|
2,06
|
0,52
|
R4 (22,5 ppm)
|
7
|
5,19
|
1,81
|
R1 (22,5 ppm)
|
5,09
|
3
|
2,09
|
0 komentar: